Kemenangan Khoe Seng Seng
Rabu, 01 Juli 2009 | 00:35 WIB
Pembatalan vonis terhadap Khoe Seng Seng oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta layak dipuji. Penulis surat pembaca yang dianggap mencemarkan nama baik ini akhirnya lolos dari gugatan ganti rugi Rp 1 miliar. Inilah kemenangan bagi kebebasan berpendapat.
Khoe harus menghadapi gugatan hanya karena menulis keluhan di media massa, setahun yang lalu. Bersama tiga rekannya, Fifi Tanang, Pan Esther, dan Kwee Men Luang, ia menyampaikan rasa kecewa atas pembelian kios di gedung ITC Mangga Dua. Kios itu ternyata bukan berstatus hak guna bangunan murni seperti yang dijanjikan, melainkan hak guna bangunan di atas hak pengelolaan.
Surat pembaca itu rupanya membuat pihak pengembang, PT Duta Pertiwi, tersinggung. Khoe dan rekan-rekannya pun diperkarakan secara pidana dan perdata. Hakim pidana menjatuhkan vonis enam bulan penjara untuk Fifi. Tahun lalu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga memenangkan gugatan Duta pertiwi Rp 1 miliar terhadap Khoe.
Vonis hakim jelas mencederai kebebasan mengungkapkan pendapat. Orang akan takut bersuara karena ancaman penjara. Betul, tidak semua surat pembaca membeberkan fakta yang sebenarnya. Tapi tetap saja tersedia cara mengoreksinya, yakni dengan menyampaikan hak jawab seperti yang diatur dalam Undang Undang Pers.
Itulah sebabnya, putusan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menganulir vonis Khoe Seng Seng sungguh tepat. Tidak selayaknya penulis surat pembaca dijerat lewat pasal-pasal pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Masalah ini lebih tepat diselesaikan lewat penggunaan hak jawab. Jika pihak yang dirugikan masih tak puas, bisa membawa ke Dewan Pers, bahkan pengadilan.
Dijaringnya Khoe Seng Seng dan rekan-rekannya dengan pasal warisan kolonial amat memprihatinkan. Ini menunjukkan masih banyak penegak hukum yang tak mau menggunakan Undang Undang Pers. Pihak yang menuntut Khoe Seng Seng, misalnya, terang-terangan mengatakan bahwa "surat pembaca bukanlah produk pers”. Salah kaprah inilah yang diluruskan oleh hakim pengadilan tinggi yang memenangkan Khoe. Hakim menolak gugatan Duta Pertiwi karena tidak melibatkan media yang membuat surat pembaca itu.
Putusan pengadilan banding itu sesuai dengan petunjuk Mahkamah Agung. Tahun lalu, lembaga ini menerbitkan surat edaran yang berisi anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Itu berarti Undang-Undang Pers harus diutamakan dalam menangani perkara yang berkaitan dengan pers.
Mestinya penegak hukum berpikir seribu kali sebelum menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP. Delik yang seharusnya segera dihapus ini sudah sering memakan korban. Khoe dan rekan-rekannya pun belum sepenuhnya menang. Masih ada perkara pidana yang juga harus mereka hadapi. Jangan sampai kebebasan berpendapat mati gara-gara aparat membabi-buta menerapkan hukum.
http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2009/07/01/krn.20090701.169752.id.html
Rabu, 01 Juli 2009 | 00:35 WIB
Pembatalan vonis terhadap Khoe Seng Seng oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta layak dipuji. Penulis surat pembaca yang dianggap mencemarkan nama baik ini akhirnya lolos dari gugatan ganti rugi Rp 1 miliar. Inilah kemenangan bagi kebebasan berpendapat.
Khoe harus menghadapi gugatan hanya karena menulis keluhan di media massa, setahun yang lalu. Bersama tiga rekannya, Fifi Tanang, Pan Esther, dan Kwee Men Luang, ia menyampaikan rasa kecewa atas pembelian kios di gedung ITC Mangga Dua. Kios itu ternyata bukan berstatus hak guna bangunan murni seperti yang dijanjikan, melainkan hak guna bangunan di atas hak pengelolaan.
Surat pembaca itu rupanya membuat pihak pengembang, PT Duta Pertiwi, tersinggung. Khoe dan rekan-rekannya pun diperkarakan secara pidana dan perdata. Hakim pidana menjatuhkan vonis enam bulan penjara untuk Fifi. Tahun lalu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga memenangkan gugatan Duta pertiwi Rp 1 miliar terhadap Khoe.
Vonis hakim jelas mencederai kebebasan mengungkapkan pendapat. Orang akan takut bersuara karena ancaman penjara. Betul, tidak semua surat pembaca membeberkan fakta yang sebenarnya. Tapi tetap saja tersedia cara mengoreksinya, yakni dengan menyampaikan hak jawab seperti yang diatur dalam Undang Undang Pers.
Itulah sebabnya, putusan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menganulir vonis Khoe Seng Seng sungguh tepat. Tidak selayaknya penulis surat pembaca dijerat lewat pasal-pasal pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Masalah ini lebih tepat diselesaikan lewat penggunaan hak jawab. Jika pihak yang dirugikan masih tak puas, bisa membawa ke Dewan Pers, bahkan pengadilan.
Dijaringnya Khoe Seng Seng dan rekan-rekannya dengan pasal warisan kolonial amat memprihatinkan. Ini menunjukkan masih banyak penegak hukum yang tak mau menggunakan Undang Undang Pers. Pihak yang menuntut Khoe Seng Seng, misalnya, terang-terangan mengatakan bahwa "surat pembaca bukanlah produk pers”. Salah kaprah inilah yang diluruskan oleh hakim pengadilan tinggi yang memenangkan Khoe. Hakim menolak gugatan Duta Pertiwi karena tidak melibatkan media yang membuat surat pembaca itu.
Putusan pengadilan banding itu sesuai dengan petunjuk Mahkamah Agung. Tahun lalu, lembaga ini menerbitkan surat edaran yang berisi anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Itu berarti Undang-Undang Pers harus diutamakan dalam menangani perkara yang berkaitan dengan pers.
Mestinya penegak hukum berpikir seribu kali sebelum menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP. Delik yang seharusnya segera dihapus ini sudah sering memakan korban. Khoe dan rekan-rekannya pun belum sepenuhnya menang. Masih ada perkara pidana yang juga harus mereka hadapi. Jangan sampai kebebasan berpendapat mati gara-gara aparat membabi-buta menerapkan hukum.
http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2009/07/01/krn.20090701.169752.id.html