> Sandal Emas
>
>
>
>
> Ketika itu, hanya empat hari menjelang Natal. Aku belum merasakan
> suasana Natal
meskipun tempat parkir swalayan “Discount Store” sudah
> dipadati oleh begitu banyak mobil. Situasi di dalam swalayan bahkan
> lebih buruk.. Kereta belanja dan para pe-ngunjung berderet-deret dalam
> antrian. Mengapa aku pergi berbelanja hari ini?
> Aku bertanya pada diriku sendiri. Kaki dan kepalaku sudah terasa sangat
> nyeri. Daftar belanjaku berisikan nama orang-orang yang menyatakan tak
> menginginkan apapun, namun aku tahu hati mereka akan terluka bila aku
> tak membelikan mereka sesuatu. Membelikan untuk mereka yang sudah
> berkecukupan serta membayangkan betapa mahalnya belanjaan ini,
> menurutku benar-benar sesuatu yang tak menyenangkan.
> Aku seg
> era bergegas memenuhi kereta belanjaanku dan berdiri dalam
> antrian kasir yang sangat panjang. Aku berusaha memilih antrian yang
> paling pendek namun tetap saja aku merasa harus mengantri minimal dua
> puluh menit. Berdiri mengantri di depanku adalah dua orang anak kecil,
> laki-laki sekitar tujuh tahun serta adik perempuannya. Anak laki itu
> mengenakan mantel yang sudah koyak. Sepatu tenis yang dikenakannya
> tampak butut, sementara celana jeansnya pun terlihat terlalu pendek. Di
> tangannya tergeng-gam beberapa helai uang kertas yang sudah lusuh.
> Pakaian yang dikenakan adiknya juga terlihat menyerupai dengannya.
> Rambutnya ikal tebal dan kusut. Dan sisa-sisa makanan masih menempel di
> wajahnya yang kecil. Ia menjinjing sepasang sandal emas yang
> ber-kilauan.
> Sementara lagu Natal
berkumandang di dalam swalayan, anak perempuan
> tersebut bersenandung dengan suaranya yang sumbang, namun tetap saja
> keceriaan tampak di wajahnya. Ketika akhirnya kami hampir tiba di
> kasir, dengan hati-hati ia meletakkan sandal emasnya di meja kasir.
> Baginya sandal tersebut seolah-olah merupakan suatu harta karun. Kasir
> berkata, “Harga sandal ini $6.09.” Sang kakak meletakkan uang lusuhnya
> di meja kasir seraya merogoh sakunya. Akhirnya uang yang terkumpul
> hanya $ 3.12.
> “Wah, sepertinya kami harus mengembalikan sandal ini,” dengan berani ia
> berkata. “Kami akan kembali lagi kapan-kapan, mungkin besok.” Seiring
> perkataannya tersebut, sang adik terisak. “Tapi Yesus pasti meny
> ukai
> sandal ini,” sambil menangis ia menanggapi kakaknya. “Sudahlah, kita
> pulang saja dulu dan bekerja lagi. Jangan menangis. Kita pasti akan
> kembali ke sini.” demikian jawab sang kakak.
> Dengan segera aku meletakkan $ 5.00 di meja kasir. Anak-anak itu sudah
> mengantri sedemikian lamanya dan, lagipula, ini adalah hari
Natal .
> Tiba-tiba sepasang tangan memelukku dan terdengar suara anak kecil
> berkata, “Terimakasih, tante,” ternyata suara si anak perempuan. “Apa
> maksudmu berkata, Yesus pasti menyukai sandal itu?” tanyaku.
> Sang kakak menjawab, “Ibu kami sakit dan akan pergi ke surga. Menurut
> Ayah, Ibu mungkin akan pergi sebelum Natal
untuk bertemu Yesus.”
> Kemudian anak perempuan itu melanjutkan, “Guru Sekolah Mingguku
> bercerita bahwa jalan di surga berkilauan seperti emas, sama seperti
> sandal ini. Pasti Ibu akan terlihat cantik mengenakan sandal ini,
> sesuai dengan warna jalan.” Air mata mengembang di kedua mataku ketika
> kulihat anak itu mulai terisak. “Ya,” jawabku. “Aku yakin pasti Ibumu
> akan terlihat cantik.” Diam-diam aku bersyukur pada Tuhan, yang
> menggunakan anak-anak ini untuk mengingatkanku akan makna pemberian
> yang tulus.
>
> “Inilah saatnya! Ingatlah bahwa terlebih baik memberi daripada
> menerima. Maka, sebarkanlah cerita ini” (A.N)