Sory guys, repost lagi... tapi g suka ma artikel yang nie.. jadi pengen share nie...
Di mana-mana, yang judulnya “cinta” selalu membawa happiness. Jatuh cinta kan berjuta rasanya. Apalagi kalo kita udah ketemu sama pasangan yang cocok, kompak, dan selalu bisa having fun bareng…wah, rasanya hidup ini udah lengkap banget. Semuanya serba indah… sampai akhirnya tiba waktu di mana kamu ‘dipisahkan’ secara paksa. Bukan dipisahkan oleh calon mertua atau pihak ketiga, tapi oleh sesuatu yang bernama ‘waktu Tuhan’.
A good friend of mine, sebut aja namanya Arnold, baru aja merayakan ‘3 tahunan’ dengan sang pacar. Cewek cheerful yang murah senyum dan lincah itu namanya Ella. Maklum, anak kelas 3 SMA. Lagi hot-hotnya sebagai ABG. Seminggu setelah candle light dinner 3 tahunan, sang cewek jatuh koma di rumah sakit. Kejadiannya cepat banget. Ditemani sang nyokap, Ella check up ke rumah sakit karena mengeluh demam. Singkat cerita, ia mengalami komplikasi karena tubuhnya shock - nggak menerima zat yang masuk lewat suntikan.
Selama dua hari koma, Ella hidup dengan bergantung pada ventilator. Masuk hari ketiga, ia pun ‘pulang’ ke rumah Tuhan. Kejadiannya bener-bener cepet. Bahkan di pagi hari, sebelum check up ke rumah sakit, Ella masih bercanda dan kejar-kejaran dengan kakaknya di dalam rumah. Siangnya, sang kakak mendapat kabar itu. Adiknya koma. Arnold yang sedang mid-test di kampus langsung meluncur ke rumah sakit.
Ella nggak sempat buka mata sejak koma. Dia nggak sempet bilang apa-apa ke Maminya. Papinya. Kakak dan adiknya. Arnold. Buat semua orang, Ella bagaikan “dicolong” dari mereka. Not even a goodbye. Buat Arnold, perpisahan kayak gini lebih menyakitkan daripada apa pun juga. Ini bukan model perpisahan yang dibuat-buat. Bukan perpisahan karena ingin putus. Bukan perpisahan karena cerai. Bukan perpisahan yang mereka rencanakan sendiri. Namun bagaimana pun kejadiannya, ini tetaplah perpisahan.
Selama berhari-hari setelah funeral Ella, Arnold tenggelam dalam ‘mourning and sorrow moment’. Di depan teman-temannya, ia tetap Mr. Smile. Tapi di saat lagi sendirian, nggak tau deh apa yang ia pikirkan. Hanya saja, Arnold punya iman yang kuat. Ia percaya bahwa semua peristiwa yang dialami manusia, walaupun tragis, merupakan rencana Tuhan. Tapi, tetap saja rasanya sakit. Kangen. Kehilangan. Kangen. Kangen.
“Pada akhirnya, gue harus bangun lagi,” begitu kata Arnold suatu ketika. “I have to move on. Tapi cuma satu yang gue harap bisa gue dapet dari Ella sebelum dia pergi. A goodbye. Itu aja kok. Karena gue merasa, tanpa kata-kata itu, hubungan gue dan Ella ‘gantung’. Dulu gue takut sama kata-kata itu. Sekarang gue sadar, ‘goodbye’ bukan akhir segalanya. Good bye itu justru pintu gerbang yang bawa gue ke tempat baru. Awal hidup yang baru,” jelasnya lagi.
Goodbye. Selamat tinggal. Memang sebuah kata yang pedih kalau diucapkan di antara pasangan. Banyak di antara kita yang nggak bisa terima dengan keadaan pasca-goodbye. Nggak terima waktu mantan pacar kita memutuskan hubungan dan memilih orang lain. Nggak rela ditinggal pacar yang melanjutkan studi ke luar negeri. Tapi sadarkah kita bahwa kata-kata itu bahkan lebih baik daripada nggak diucapkan sama sekali?
Kenapa harus uring-uringan kalau memang perpisahan itu kesepakatan bersama? Kenapa harus sedih saat pacar kita dinas ke luar kota? Kenapa harus menyesal atas keputusan cerai yang diambil berdua? Kenapa meributkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi – bisa saja tidak ada perpisahan – seandainya kita memang mau mempertahankannya? Kalau kamu baru saja mengalami perpisahan, move on!
Kalau merasa ‘nggak kuat’, lihat Arnold. Lihat orang-orang yang ‘dipaksa’ berpisah. Orang-orang yang ‘kecolongan’. Dengan begitu, kita bisa belajar menghargai hubungan yang ada saat ini. Kata ‘goodbye’ itu sebaiknya terlontar ketika kita sendiri sudah paham maknanya. Siap pergi dan siap ditinggalkan. (joss)
Sumber: indomedia
Di mana-mana, yang judulnya “cinta” selalu membawa happiness. Jatuh cinta kan berjuta rasanya. Apalagi kalo kita udah ketemu sama pasangan yang cocok, kompak, dan selalu bisa having fun bareng…wah, rasanya hidup ini udah lengkap banget. Semuanya serba indah… sampai akhirnya tiba waktu di mana kamu ‘dipisahkan’ secara paksa. Bukan dipisahkan oleh calon mertua atau pihak ketiga, tapi oleh sesuatu yang bernama ‘waktu Tuhan’.
A good friend of mine, sebut aja namanya Arnold, baru aja merayakan ‘3 tahunan’ dengan sang pacar. Cewek cheerful yang murah senyum dan lincah itu namanya Ella. Maklum, anak kelas 3 SMA. Lagi hot-hotnya sebagai ABG. Seminggu setelah candle light dinner 3 tahunan, sang cewek jatuh koma di rumah sakit. Kejadiannya cepat banget. Ditemani sang nyokap, Ella check up ke rumah sakit karena mengeluh demam. Singkat cerita, ia mengalami komplikasi karena tubuhnya shock - nggak menerima zat yang masuk lewat suntikan.
Selama dua hari koma, Ella hidup dengan bergantung pada ventilator. Masuk hari ketiga, ia pun ‘pulang’ ke rumah Tuhan. Kejadiannya bener-bener cepet. Bahkan di pagi hari, sebelum check up ke rumah sakit, Ella masih bercanda dan kejar-kejaran dengan kakaknya di dalam rumah. Siangnya, sang kakak mendapat kabar itu. Adiknya koma. Arnold yang sedang mid-test di kampus langsung meluncur ke rumah sakit.
Ella nggak sempat buka mata sejak koma. Dia nggak sempet bilang apa-apa ke Maminya. Papinya. Kakak dan adiknya. Arnold. Buat semua orang, Ella bagaikan “dicolong” dari mereka. Not even a goodbye. Buat Arnold, perpisahan kayak gini lebih menyakitkan daripada apa pun juga. Ini bukan model perpisahan yang dibuat-buat. Bukan perpisahan karena ingin putus. Bukan perpisahan karena cerai. Bukan perpisahan yang mereka rencanakan sendiri. Namun bagaimana pun kejadiannya, ini tetaplah perpisahan.
Selama berhari-hari setelah funeral Ella, Arnold tenggelam dalam ‘mourning and sorrow moment’. Di depan teman-temannya, ia tetap Mr. Smile. Tapi di saat lagi sendirian, nggak tau deh apa yang ia pikirkan. Hanya saja, Arnold punya iman yang kuat. Ia percaya bahwa semua peristiwa yang dialami manusia, walaupun tragis, merupakan rencana Tuhan. Tapi, tetap saja rasanya sakit. Kangen. Kehilangan. Kangen. Kangen.
“Pada akhirnya, gue harus bangun lagi,” begitu kata Arnold suatu ketika. “I have to move on. Tapi cuma satu yang gue harap bisa gue dapet dari Ella sebelum dia pergi. A goodbye. Itu aja kok. Karena gue merasa, tanpa kata-kata itu, hubungan gue dan Ella ‘gantung’. Dulu gue takut sama kata-kata itu. Sekarang gue sadar, ‘goodbye’ bukan akhir segalanya. Good bye itu justru pintu gerbang yang bawa gue ke tempat baru. Awal hidup yang baru,” jelasnya lagi.
Goodbye. Selamat tinggal. Memang sebuah kata yang pedih kalau diucapkan di antara pasangan. Banyak di antara kita yang nggak bisa terima dengan keadaan pasca-goodbye. Nggak terima waktu mantan pacar kita memutuskan hubungan dan memilih orang lain. Nggak rela ditinggal pacar yang melanjutkan studi ke luar negeri. Tapi sadarkah kita bahwa kata-kata itu bahkan lebih baik daripada nggak diucapkan sama sekali?
Kenapa harus uring-uringan kalau memang perpisahan itu kesepakatan bersama? Kenapa harus sedih saat pacar kita dinas ke luar kota? Kenapa harus menyesal atas keputusan cerai yang diambil berdua? Kenapa meributkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi – bisa saja tidak ada perpisahan – seandainya kita memang mau mempertahankannya? Kalau kamu baru saja mengalami perpisahan, move on!
Kalau merasa ‘nggak kuat’, lihat Arnold. Lihat orang-orang yang ‘dipaksa’ berpisah. Orang-orang yang ‘kecolongan’. Dengan begitu, kita bisa belajar menghargai hubungan yang ada saat ini. Kata ‘goodbye’ itu sebaiknya terlontar ketika kita sendiri sudah paham maknanya. Siap pergi dan siap ditinggalkan. (joss)
Sumber: indomedia