Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang duda dengan tiga orang anak yang sudah menginjak dewasa. Duda itu terbilang cukup kaya didesanya. Ia memiliki rumah, tanah, dan 19 ekor kerbau. suatu saat duda tersebut mengalami sakit keras, bahkan tipis harapan untuk sembuh. Merasa ajalnya sudah dekat, sang duda memanggil ketiga anaknya untuk diberi warisan, terutama ke-19 kerbaunya.
Kepada anak sulung, sang ayah berpesan bahwa dia akan memperoleh setengah dari jumlah kerbaunya. Sedangkan anak yang kedua akan memperoleh seperempat dari jumlah kerbau, dan anak bungsu akan memeroleh seperlima dari jumlah kerbau yang duda itu miliki. Tak lama kemudian, duda itu pun meninggal.
Setelah bapaknya dimakamkan dan situasi mulai tenang, ketiga ahli waris itu pun mengadakan rapt guna membagi 19 ekor kebau peninggalan ayahnya tersebut. Kesembilan belas kerbau tersebut dibagikan sesuai amanat almarhum ayahnya, yakni setengah untuk anak sulung, seperempat untuk anak kedua, dan seperlima untuk anak bungsu. Akan tetapi, mereka baru sadar bahw hasil pembagian tersebut ternyata tidak utuh. Dari hasil pembagian tersebut, anak sulung menerima setengah dari 19 ekor kerbau. Artinya, menerima 9,5 kerbau. Demikian pula dengan anak kedua, dia akan menerima 4 3/4 kerbau. Sedangkan si bungsu akhirnya hanya mendapatkan 3,8 kerbau.
Mereka menjadi bingung, tidak tahu bagaimana cara membagi kerbau-kerbau itu. Dalam kebingungan itulah, ego masing-masing muncul. Semua mengingankan kerbau diterima utuh tanpa ada yg dipotong-potong. Sisulung menuntut lebih, mengingat dia adalah pewaris utama, sementara adik-adiknya yang lain pun tidak mau mengalah,
Tidak jauh dari rumah mereka, sebenarnya tinggal paman mereka yang tergolong miskin. Tidak punya banyak tanah dan hanya memiliki seekor kerbau warisan dari ayahnya dulu. Itupun sudah sangat kurus dan tidak terawat.
akibat hidupnya yg miskin, sang paman hampir tidak pernah diperhatikan oleh keluarga yang almarhum duda kaya itu, apalagi perhatian dari ketiga keponakannya itu. Namun demikian, berita mengenai pertentangan ketiga keponakannya dalam membagi 19 kerbau tersebu sampai juga ditelinganya.
Setelah mengetahui titik permasalahannya, dengan hati yg tulus dia berkata kepada ketiga keponakannya, "Ambillah kerbau paman yg satu-satunya ini, mungkin berguna untuk memecahkan masalah kalian bertiga!
"wha, ide bagus. Kalau begitu, sekalian saja pama yang membaginya unuk kami, supaya adil!" sahut si sulung dengan mantap
Dengan senang hati, sang paman pun bersedia untuk membagi kerbau warisan itu. Ditambah satu kerbau miliknya, jumlah kerbau sekarang menjadi 20 ekor. Sesuai dengan porsi pembagian yang telah diwasiatkan sang ayah, maka si sulung memperoleh 10 ekor kerbau (1/2 dari 20), adiknya yg kedua mendapatan 5 ekor (1/4 dari 20), dan si bungsu mendapatkan 4 ekor (1/5 dari 20).
"Apakah kalian puas dan merasa adil dengan apa yang telah kalian terima?" tanya sang paman.
"Sangat puas, Paman!" sahut ketiga keponakannya.
"Sesuai wasiat ayah kalian, sekarang masing -masing dari kalian sudah mendapatkan 10, 5, dan 4 ekor kerbau. Jadi total jumlah kerbau yg dibagi ada 19 ekor, sedangkan kerbau yang ada adalah 20 ekor. Berarti ada sisa 1 ekor lagi. Nah, yg 1 ekor ini paman bawa pulang lagi, ya!" pinta paman mereka dengan tersenyum.
KEINDAHAN hidup dapat kita rasakan manakala kita lebih banyak memberi daripada sekedar menerima. Dalam upaya mengasihi sesama, ketulusan dalam memberi tampaknya memiliki makna yg tinggi. Terkadang tindakan memberi kepada orang lain terkesan merugikan diri sendiri, namun kebahagiaan yg diperoleh sebagai dampak dari memberi inilah yg tidak ternilai harganya.
Hati yg mau memberi dimulai dari hati yg terbuka untuk berempati kepada orang lain yg memerlukan uluran kasih. Hati yg tergerak untuk berempati kepada org lain adaah hati yg telah digerakkan oleh ucapan syukur atas apa yg telah mereka terima selama ini dalam kehidupannya, baik itu kesehata, jabatan, maupun kecukupan lainnya.
Sesungguhnya, memberi tidak selalu dalam bentuk uang dan barang. Senyuman yang tulus, sapaan yang menghibur dan menguatkan, telinga yang mau mendengarkan, uluran tangan atau pelukan hangat yang meneguhkan, serta bimbingan yg proporsional, merupakan bagian dari uluran kasih untuk memberi kepada orang lain.
Berbuat baik kepada orang yg telah berbuat baik kepada kita adalah hal biasa dan normatif (bahkan seorang penjahat sejahat apapun mampu melakukannya). Namun, berbuat baik dan memberi kepada orang yg justru berbuat jahat kepada kita adalah hal yg luar biasa. Hanya orang2 yg memiliki tingkat pemahaman spiritual yg tinggilah yg dapat melakukan hal tersebut. Sukses kita dalam menjalani kehidupan ini bukan dari apa yang sedang atau akan kita raih, melainkan dari seberapa banyak yg sudah kita berikan untuk sesama.
Sumber :Half full-hlf empty (buku best saller nasiona)
Kepada anak sulung, sang ayah berpesan bahwa dia akan memperoleh setengah dari jumlah kerbaunya. Sedangkan anak yang kedua akan memperoleh seperempat dari jumlah kerbau, dan anak bungsu akan memeroleh seperlima dari jumlah kerbau yang duda itu miliki. Tak lama kemudian, duda itu pun meninggal.
Setelah bapaknya dimakamkan dan situasi mulai tenang, ketiga ahli waris itu pun mengadakan rapt guna membagi 19 ekor kebau peninggalan ayahnya tersebut. Kesembilan belas kerbau tersebut dibagikan sesuai amanat almarhum ayahnya, yakni setengah untuk anak sulung, seperempat untuk anak kedua, dan seperlima untuk anak bungsu. Akan tetapi, mereka baru sadar bahw hasil pembagian tersebut ternyata tidak utuh. Dari hasil pembagian tersebut, anak sulung menerima setengah dari 19 ekor kerbau. Artinya, menerima 9,5 kerbau. Demikian pula dengan anak kedua, dia akan menerima 4 3/4 kerbau. Sedangkan si bungsu akhirnya hanya mendapatkan 3,8 kerbau.
Mereka menjadi bingung, tidak tahu bagaimana cara membagi kerbau-kerbau itu. Dalam kebingungan itulah, ego masing-masing muncul. Semua mengingankan kerbau diterima utuh tanpa ada yg dipotong-potong. Sisulung menuntut lebih, mengingat dia adalah pewaris utama, sementara adik-adiknya yang lain pun tidak mau mengalah,
Tidak jauh dari rumah mereka, sebenarnya tinggal paman mereka yang tergolong miskin. Tidak punya banyak tanah dan hanya memiliki seekor kerbau warisan dari ayahnya dulu. Itupun sudah sangat kurus dan tidak terawat.
akibat hidupnya yg miskin, sang paman hampir tidak pernah diperhatikan oleh keluarga yang almarhum duda kaya itu, apalagi perhatian dari ketiga keponakannya itu. Namun demikian, berita mengenai pertentangan ketiga keponakannya dalam membagi 19 kerbau tersebu sampai juga ditelinganya.
Setelah mengetahui titik permasalahannya, dengan hati yg tulus dia berkata kepada ketiga keponakannya, "Ambillah kerbau paman yg satu-satunya ini, mungkin berguna untuk memecahkan masalah kalian bertiga!
"wha, ide bagus. Kalau begitu, sekalian saja pama yang membaginya unuk kami, supaya adil!" sahut si sulung dengan mantap
Dengan senang hati, sang paman pun bersedia untuk membagi kerbau warisan itu. Ditambah satu kerbau miliknya, jumlah kerbau sekarang menjadi 20 ekor. Sesuai dengan porsi pembagian yang telah diwasiatkan sang ayah, maka si sulung memperoleh 10 ekor kerbau (1/2 dari 20), adiknya yg kedua mendapatan 5 ekor (1/4 dari 20), dan si bungsu mendapatkan 4 ekor (1/5 dari 20).
"Apakah kalian puas dan merasa adil dengan apa yang telah kalian terima?" tanya sang paman.
"Sangat puas, Paman!" sahut ketiga keponakannya.
"Sesuai wasiat ayah kalian, sekarang masing -masing dari kalian sudah mendapatkan 10, 5, dan 4 ekor kerbau. Jadi total jumlah kerbau yg dibagi ada 19 ekor, sedangkan kerbau yang ada adalah 20 ekor. Berarti ada sisa 1 ekor lagi. Nah, yg 1 ekor ini paman bawa pulang lagi, ya!" pinta paman mereka dengan tersenyum.
KEINDAHAN hidup dapat kita rasakan manakala kita lebih banyak memberi daripada sekedar menerima. Dalam upaya mengasihi sesama, ketulusan dalam memberi tampaknya memiliki makna yg tinggi. Terkadang tindakan memberi kepada orang lain terkesan merugikan diri sendiri, namun kebahagiaan yg diperoleh sebagai dampak dari memberi inilah yg tidak ternilai harganya.
Hati yg mau memberi dimulai dari hati yg terbuka untuk berempati kepada orang lain yg memerlukan uluran kasih. Hati yg tergerak untuk berempati kepada org lain adaah hati yg telah digerakkan oleh ucapan syukur atas apa yg telah mereka terima selama ini dalam kehidupannya, baik itu kesehata, jabatan, maupun kecukupan lainnya.
Sesungguhnya, memberi tidak selalu dalam bentuk uang dan barang. Senyuman yang tulus, sapaan yang menghibur dan menguatkan, telinga yang mau mendengarkan, uluran tangan atau pelukan hangat yang meneguhkan, serta bimbingan yg proporsional, merupakan bagian dari uluran kasih untuk memberi kepada orang lain.
Berbuat baik kepada orang yg telah berbuat baik kepada kita adalah hal biasa dan normatif (bahkan seorang penjahat sejahat apapun mampu melakukannya). Namun, berbuat baik dan memberi kepada orang yg justru berbuat jahat kepada kita adalah hal yg luar biasa. Hanya orang2 yg memiliki tingkat pemahaman spiritual yg tinggilah yg dapat melakukan hal tersebut. Sukses kita dalam menjalani kehidupan ini bukan dari apa yang sedang atau akan kita raih, melainkan dari seberapa banyak yg sudah kita berikan untuk sesama.
Sumber :Half full-hlf empty (buku best saller nasiona)